"Budaya Jujuran Menjelang Pernikahan" (di lingkup sosial budaya Kalsel-Teng)



Dalam lingkungan masyarakat Kalimantan Selatan dan Tengah, sejak lama telah mengakar secara turun temurun budaya jujuran. Jujuran adalah sejumlah uang dalam besaran tertentu (dengan nilai yang telah disepakati) yang wajib diserahkan oleh calon / keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan yang dipergunakan untuk mengadakan walimah/syukuran acara pernikahan.
Entah sejak kapan istilah jujuran ini begitu popular. Yang pasti, kita belum pernah menemukan undang-undang / aturan tertulis mengenai jujuran. Meskipun demikian, hampir di setiap persiapan acara acara pernikahan, isu yang terdengar tidak jauh dari seputar jujuran. Dalam edisi perdana ini, penulis bermaksud mengangkat budaya jujuran agar kita dapat memahami maksud dan tujuan serta efek yang ditimbulkan dari jujuran.

Harus kita akui, budaya jujuran sangat identik dengan problem pra nikah. Meskipun sebagian masyarakat kita tidak terlalu mempermasalahkannya.
Menurut informasi yang kami dapat, jujuran adalah juga merupakan salah satu cara pandang agar seseorang dapat mendapat tempat dalam status social yang tinggi. Dl artian, semakin tinggi nilai jujuran, semakin tinggi pula derajat orang tersebut. Meskipun demikian, tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa nilali jujuran tidak menjamin masa depan rumah tangga yang harmonis atau mengangkan derajat keluarga mempelai.
Sesungguhnya, jujuran bukan merupakan syarat syahnya suatu pernikahan. Tidak ada yang mewajibkan jujuran dalam aturan Agama manapun. Bahkan dalam ajaran Agama Islam, yang menjadi kewajiban hanya membayar mahar atau mas kawin. Bukan jujuran. Dalam artian, jujuran bukanlah mahar atau mas kawin.
Namun pengalihan pandangan secara pelan tapi pasti akan membelokkan pengertian masyarakat bahwa jujuran merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar di samping mahar / mas kawin.
Beberapa efek yang ditimbulkan dari jujuran bisa menjadi opsi yang baik maupun buruk. Kita mbil contoh sebagai berikut :
Seorang pemuda, mencintai seorang gadis dengan tulus ikhlas. Sesuai ajaran Agama, jika telah sama-sama mencintai dan mampu untuk melangsungkan pernikahan, maka mereka wajib menikah. Dengan semangat dan niat yang baik, maka si pemuda itu melamar sang gadis. Tapi, orang tua / keluarga gadis itu memberikan syarat yang cukup besar baginya. Yaitu nilai jujuran yang tinggi dan tidak bisa dipenuhinya saat itu.
Maka, ada beberapa hal yang mungkin terjadi :
1. Si pemuda akan menunda jadwal pernikahannya, sambil berusaha untuk memenuhi nilai jujuran yang telah ditentukan, dengan bekerja keras sesauai dengan kemampuannya.
2. Untuk mewujudkan keinginannya, si pemuda meminta bantuan dengan orang-orang di sekitarnya dalam bentuk hutang. Meskipun pernikahan terjadi akan tetap menjadi beban bagi mereka dalam membina rumah tangga. Karena harus melunasi hutang untuk memenuhi jujuran.
3. Demi untuk memenuhi syarat tersebut, ia nekad melakukan jalan pintas. Misalkan mencuri, atau merampok. Tentu kita tidak ingin hal ni terjadi.
4. Karena si pemuda dan gadis tersebut sudah sangat saling mencintai tapi belum bisa melaksanakan pernikahan, maka mereka berdua pergi/lari dari rumah. Lalu terjadilah zinah. Dalam hal ini, siapapun yang menghalangi niat baik pernikahan mereka, juga turut harus bertanggung jawab. Terlebih dari pihak keluarga si gadis, karena syarat yang mereka tentukan sangat berat.
5. pernikahan mereka batal. Dan si gadis dinikahkan oleh orang tuanya dengan orang lain yang berani dan mampu membayar jujuran dengan nilai jauh lebih tinggi, meskipun sang gadis tidak mencintai orang yang melamar tersebut. Sehingga batinnya akan terus merasa tertekan, karena pernikahan yang tidak berdasarkan saling mencinta. Pastinya, setiap orang tua tidak ingin anaknya tidak ingin anaknya tidak bahagia. Jika ini terjadi, kemungkinan keharmonisan rumah tangga menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Atau bahkan akan berakhir dengan perceraian.
6. saking cintanya mereka berdua, jika pernikahan tidak terjadi, salah satu dari mereka ( atau bahkan mungkin keduanya ) akan mengalami depresi berat, bahkan stress dan trauma berkepanjangan. Dan kewajiban untuk menjalankan perintah Agama berupa melangsungkan pernikahan tidak akan mereka penuhi.

Dari beberpa kemungkinan tersebut di atas, kita bisa membayangkan, betapa budaya jujuran mempunyai peran penting dalam regenerasi sebuah keluarga. Bahkan dari beberapa sumber yang kami temui sangat tidak setuju dengan jujuran. Karena dianggap secara tidak langsung seperti menjual anak.
Salah seorang warga Kapuas (Kal-Teng), Wahyu Rusnandar (30) menuturkan, tidak semestinya jujuran menjadi penghalang untuk melangsungkan pernikahan. Bapak satu anak itu mempunyai pandangan, bahwa dari pada melangsungkan pernikahan dengan sangat mewah (yang tentu saja memerlukan biaya yang besar), akan lebih baik jika jujuran dipergunakan sebagai modal usaha, untuk kesejahteraan mempelai. Namun demikian, jika memungkinkan tidak ada salahnya resepsi pernikahan tetap dilaksanakan. Tetapi bukan merupakan hal yang dipaksakan, sambung pedagang di jalan A. Yani Kuala Kapuas itu.
Sesungguhnya, paradigma jujuran merupakan sarana pendidikan. Maksudnya adalah, untuk menjalani hidup berumah tangga, seseorang harus betul-betul siap dan mapan. Pesan moral yang dapat kita ambil adalah bagaimana seorang pemuda mampu mengidupi keluarganya jika untuk menjamu kerabatnyapun dia masih belum bisa. Untuk itu, sang calon mempelai laki-laki harus betul-betul siap lahir bathin untuk menikah, demi keharmonisan keluarga.
Sementara itu, menurut Ahmadi, S.Ag, (PNS di Lingkungan Kantor Urusan Agama Kecamatan Kapuas Hilir) bahwa sebenarnya jujuran adalah pemberian dari suami kepada istri sebagai penghormatan. Tetapi bukan sebagai harga pembelian. Awalnya jujuran mengikuti mahar/maskawin sesuai Sunnah Rasul. Akan tetapi dari Budaya Banjar (kebudayaan yang umum berkembang di Kalimantan Selatan dan Tengah), mahar dianggap sebagai jujuran. Namun pada saat akad nikah, jumlah mahar tidak disebutkan sesuai dengan nilai jujuran. Hal ini menghindari penggunaan uang yang bukan pada peruntukkannya. Karena, mahar diberikan pada calon mempelai perempuan, bukan untuk biaya walimah pernikahan.
Sulitnya mengembalikan pandangan masyarakat menjadikan tugas tambahan bagi masyarakat umum yang perduli pada hukum nikah dan kebudayaan. Khusunya Kementerian Agama Republik Indonesia, untuk mensosialisasikan budaya jujuran bukanlah merupakan kewajiban dalam proses pernikahan. Karena dikuatirkan masyarakat awam akan menganggap jujuran adalah suatu kewajiban dalam rukun nikah. Sehingga dapat menimbulkan penyimpangan hukum. Justru hal yang paling dikuatirkan adalah kemungkina-kemungkinan negatife seperti pemaparan di atas.
Demikian opini ini kami angkat dalam sebuah tulisan sederhana, yang diharapkan dapat disikapi dengan bijaksana oleh para pembaca sekalian. Penulis berharap, kebudayaan harus tetap dipertahankan, namun tidak mengesampingkan nilai-nilai moral dan syariah.
(Jay).

Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Info GARDU, edisi I, 15 – 30 September 2010.


Komentar

  1. Balasan
    1. Dan saat ini,jujuranlah salah satu halangan ku utk melangsungkan pernikahan. Bukan masalah nominalnya namun pandangannya yg mengatakan jujuran utk keluarga yg perempuan dan biaya nikah tetap keluarga laki-laki yg menanggung semua. Dapat di bayangkan ? Semoga Allah SWT memudahkan ibadah ku yg satu ini. Mohon doanya.

      Hapus
    2. Dan saat ini,jujuranlah salah satu halangan ku utk melangsungkan pernikahan. Bukan masalah nominalnya namun pandangannya yg mengatakan jujuran utk keluarga yg perempuan dan biaya nikah tetap keluarga laki-laki yg menanggung semua. Dapat di bayangkan ? Semoga Allah SWT memudahkan ibadah ku yg satu ini. Mohon doanya.

      Hapus
    3. Sudah saatnya jujran dalam pernikahan itu dimuseumkan sebab tidak realistis lagi dijaman sekarang. Terimakasih
      Akibat buruk jujuran tinggi dalam pernikahan

      Hapus
  2. amien....sy jg sdang mngalami problem yg sama,brikn kmudahan hambamu ya allah untk mnju yg halal

    BalasHapus
  3. amien....sy jg sdang mngalami problem yg sama,brikn kmudahan hambamu ya allah untk mnju yg halal

    BalasHapus
  4. aq pun mrasakan hal yg sama.aq wanita keturunam Dayak Banjar serta masih ada darah bangsawan kalimantan aq hampir tdk kuat sdh krna calon ku dr kaum biasa saja..ya Allah berikan kemudahan hambamu untk mnju halal dan jgn jdkn lagi uan jujuran itu menjadi hal yg berat.seharusnya di sesuaikan dng keyakinan yg dianut,perkembangan zaman dan tanpa memberatkan pihak calonnya..bagaimna jka mrka sdh slng menyayangi betapa tdk adilnya hal tersebut mnjdi penghalang..

    BalasHapus
  5. padah ja buhan mu tu kada baduit hagan kawin bebelit belit banar... jujuran tu cara supaya lalakian tu mau beusaha mencari gawian... kada nya mengetek wara d rumah... amun je hatue dia hakun bagawi malah nggau jalan pintas kilau mencuri... je bawi tinggal malihi ih lagi... berarti hatue te hnday siap kawin...

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah kerjaku dibilang mapan (PNS), dan alhamdulillah juga selalu ada rejeki.. Meskipun cantiknya seperti bidadari kalau sudah keturunan Banjar, lebih baik saya menghindar krn kurang sreg dgn budaya jujuran..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perasaan jujuran itu tidak mmberatkan kok karena memang kalo ingin mengadakan acara ya kita tau sendiri kan harta2 sekarang pada mahal, kalau seperti Panai nya orang Bugis mungkin anda berhak mempermasalahkan,sebab nominalnya tidak terlalu besar juga...
      Enak aja mau nikah nggak punya usaha mau taroh dimana muka sebagai laki2,lagian sekarang rata2rumah orang tua kalo memang kedua anak itu sudah kebelet banget,bnyak kok diantara mereka yg mengadakan walimah dengan sederhana saja

      Hapus
  7. Saya jga mengalami hal yg begitu berat sebab setelah saya menikah saya di jauhkan dri istri saya.. dan harus menbusnya dgn uang jujuran itu tadi. Ya allah berikan kemuadahan kami persatukan kami untuk mnjalankan sunah rasul dan membangun keluarga samawa. Amin..amin..ya rabbal alamin.

    BalasHapus
  8. huhuhu... sama...
    alasan dari pihak wanita, "sekarang ini apa2 mahal, untuk dekorasi saja bisa habis 10jutaan. jadi wajar kalau mahal."
    lalu ku minta sederhana saja. lantas dijawab, "malu.. apa nanti kata orang kalau pestanya biasa2 saja"
    nah loh, artinya kan karena takut dikata-katain oleh tetangga.
    Padahal kalo udh nikah, emangnya tetangga mau ikut ngongkosin apa? enggakkan...

    BalasHapus
  9. Bujur tuh mau nikah aja kok susah selamatan saja pakai tumpeng murah uang jujurannya bisa dibayar dengan hati yang jujur loh.

    BalasHapus
  10. Bujur tuh mau nikah aja kok susah selamatan saja pakai tumpeng murah uang jujurannya bisa dibayar dengan hati yang jujur loh.

    BalasHapus
  11. mnurut sy, adat jujuran bs d artikan bantuan dr pihak laki2 utk pihak prampuan utk pernikahan..
    jika slama jumlahnya flexibel n bs d sesuaikan dg kemampuan pihak laki2, adat jujuran bs d jalankan..
    tp jika nominal jujuran d patok & sampai melebihi kemampuan pihak laki2, itu sama aja menghambat jodoh org...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bismillaahirrahmaanirrahiim